10 Februari 2008

Teater Tangan

Dari Pertunjukan Teater Tangan UKM Seni UMI Mengenang 'Amarah' tanpa Rasa Marah Teater Tangan UKM Seni UMI Makassar mementaskan lakon "Mata Was-wasnAwas Mata"di Auditorium Al-Jibra Kampus II UMI.Lakon karya sutradara Ibrahim M ini merefleksikan tragedi Amarah 1996. Namun, kali ini sutradara mendekati peristiwa itu dengan gaya yang lebih santun. Seorang perempuan berpakaian hitam berdiri mematung di sudut panggung. Tangan kanannya mengenggam kipas berwarna merah, dan tangan kirinya memegang sebuah dacin timbangan. Dari arah belakang, muncul tiga orang yang juga berpakaian serba hitam. Ketiga orang ini memikul sebuah kerangka berbentuk bola mata raksasa sambil berjalan tertatih memutari panggung. Kemudian, dari arah kiri dan kanan panggung, muncul dua orang lagi dengan langkah kaki tegap dan mengentak. Kali ini, kedua orang bersepatu lars tersebut mengenakan pakaian bercorak loreng. Panggung pun lalu di penuhi dengan orang-orang dengan gerak masing-masing. Musik lalu bergemuruh, meningkahi situasi kacau yang mulai tampak mendominasi panggung.

Adegan tersebut tersuguh pada pertunjukan teater yang digelar oleh Teater Tangan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Seni Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Jumat malam, 22 April. Pertunjukan teater yang memuncaki seluruh rangkaian acara 'Pagelaran Seni April Makassar Berdarah (Amarah)' bertema 'Detak 9 Koma', itu disaksikan oleh ratusan penonton. Kendati mencoba merefleksikan sebuah tragedi berdarah yang menelan korban jiwa, sutradara Ibrahim M tampak mendekati peristiwa itu dengan gaya yang tidak meledak-ledak. Dalam lakon berdurasi sekitar 20 menit itu, Ibrahim terlihat lebih memilih menawarkan sebuah ruang kontemplasi kepada penonton. "Kami ingin tragedi Amarah tidak sekadar sebuah peringatan rutin akan sebuah tragedi berdarah. Lebih dari itu, kami berharap peristiwa itu bisa menjadi spirit bagi kami dalam berkreativitas dan bergerak," jelas Ibrahim. Pertunjukan Teater Tangan yang minim dialog itu, memang tidak mengumbar kata-kata. Selain lebih banyak menggunakan gerak, para aktor tampak memilih berkomunikasi melalui simbol-simbol. Kerangka bola mata raksasa yang dipikul oleh aktor, setidaknya dimaknai sebagai sebuah upaya mengajak penonton untuk senantiasa memelihara sikap awas. Pendeknya, kenyataan dalam kehidupan sosial, seyogianya selalu dipandang secara riil, proporsional, dan tidak melulu mengedepankan emosi. Begitu pun dengan penggunaan properti berupa ban mobil, yang dalam salah satu adegan tampak di tarik dengan susah payah oleh aktor dari tiga arah berlawanan. Adegan ini seolah menegaskan tentang perlu terus dihidupkannya sikap kritis oleh siapa pun. Bahkan, kalau perlu, dengan jalan berunjuk rasa sekalipun. Belakangan ini, ban memang seolah menjadi properti wajib di hampir setiap aksi unjuk rasa yang dilakukan. Namun, kendati Ibrahim lebih memilih metode penyampaian yang persuasif dalam refleksinya di atas pentas, itu tidak berarti sama sekali tak ada sikap protes. Wujud protes Ibrahim itu bisa dilihat pada adegan ketika seorang aktor menerobos masuk ke tengah panggung, dengan terlebih dulu mengoyak sebuah tirai kertas yang menjuntai dari langit-langit panggung. Tirai itu terbuat dari kertas kombinasi warna merah dan putih. Sebuah penggunaan simbol yang cukup kuat untuk memunculkan sebuah pertanyaaan tentang identitas keindonesiaan kita hari ini. Pun 'Dewi Keadilan' yang malam itu ditampilkan dengan raut muka yang muram. Kali ini pedang sang dewi berganti menjadi kipas berwarna merah. Juga tak ada lagi kain penutup mata. Sebuah ungkapan keputusasaan akan realitas hukum Indonesia? Dalam konteks Amarah, tentu saja Ibrahim ingin menggugat peristiwa tahun 1996 yang dinilai belum terselesaikan secara adil itu. Karena berangkat dari latar psikologis yang sama, para aktor dan penonton pada pertunjukan ini pun lebih mudah menciptakan ruang komunikasi. Betapapun, peristiwa Amarah adalah sebuah luka sejarah bagi mahasiswa Indonesia, khususnya mahasiswa UMI Makassar sendiri, yang telah jadi korban kekerasan sebuah rezim ototriter. Hanya saja, pertunjukan yang sedianya bisa memberi sebuah tontonan yang menghibur sekaligus menggugah malam itu, terasa tidak maksimal lantaran penataan cahaya yang dikemas ala kadarnya. Teater Tangan semestinya tidak berlindung pada dalih bahwa mereka tidak bermain di sebuah panggung yang mampu menyediakan 'lighting' yang baik. Pasalnya, sebuah pertunjukan teater adalah sebuah bentuk refleksi atas kenyataan yang menuntut keutuhan penyajian, termasuk tata cahaya yang baik. Selain pertunjukan teater, Unit Pengembangan Kreativitas Seni Budaya dan Sastra UMI yang menggelar Pagelaran Seni Amarah, malam itu juga menyajikan pertunjukan musik, tari dan pembacaan puisi. Keseluruhan pertunjukan yang digelar itu mengusung tema seputar peristiwa Amarah. Sebuah tragedi berdarah di kampus UMI Makassar, yang pada 24 April kemarin, tepat memasuki sembilan tahun. (*) Sumber : Laporan Bakti M Munir

0 komentar:

Design by Dzelque Blogger Templates 2007-2008