10 Februari 2008

Seroja di persimpangan

Mestikah Membiarkan Korban Lain Berjatuhan? Film Seroja, Kisah Nyata tentang Kekerasan terhadap Perempuan Seroja adalah potret segelintir perempuan yang bernasib buntung.Sayang, pemerintah terlalu panjang berpikir untuk membuat regulasi pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Laporan Alief Sappewali SEPASANG betis putih mulus tampak saling bergesekan pelan. Pada kedua kakinya ada sepasang sandal galang hak tinggi. Perlahan-lahan, sandal di kaki kiri itu dilepas. Disusul sandal di kaki kanan. Kedua kaki dari betis mulus itu kini menyentuh lantai marmer yang berwarna putih bersih. Sejurus kemudian, kamera perlahan-lahan diarahkan ke bagian atas betis itu. Tampaklah seorang gadis berambut panjang. Kulitnya putih bersih. Roknya pendek sebatas lutut dipadu baju berwarna gelap. Rapi. Di wajahnya, tepatnya di dekat hidung terdapat dua tahi lalat. Gadis itu adalah Seroja (diperankan Wiwin Pradita/mahasiswi Stikom Fajar). Dia sedang berada di salah satu kamar sebuah hotel di Makassar untuk melayani seorang lelaki hidung belang, Budiman (Mamat Mariamang/mahasiswa UMI). Seroja tampak menggoda Budiman dengan berlenggak-lenggok mempertontonkan tubuh sensualnya. Tetapi, Budiman, lelaki berkacamata yang bekerja sebagai dosen pada salah satu perguruan tinggi di Makassar itu hanya menatap Seroja dengan dingin. Mulutnya seolah terkunci. Seroja lalu membakar sebatang rokok, lalu mengisapnya dalam-dalam. "Tunggu apalagi Mas?" katanya memancing Budiman. Begitulah prolog sebuah film indie berjudul Seroja yang diproduksi Lembaga Edukasi Multikultur dan Penerbitan Alternatif (Lempa) bekerja sama UKM Seni Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Film ini diprakarsai Lembaga Bantuan Hukum dan Pemberdayaan Perempuan Indonesia (LBH-P2i) bersama CORDAID, lembaga donor asal Belanda.

Film ini diproduksi dalam rangka Acceleration Removement and Women Empowerment Project in South Sulawesi. Penayangan perdana film berlangsung di sekretariat UKM Seni UMI, Senin 17 Desember. Film berdurasi 50 menit itu mendapat perhatian besar dari kalangan mahasiswa, khususnya perempuan. Dalam adegan film yang disutradarai Syamsuddin Simmau itu, Budiman bukannya tergiur dengan kemolekan tubuh Seroja. Dia malah tiba-tiba merasa iba. Apalagi, saat Seroja mengungkap awal kisah dirinya terjebak dalam dunia hitam. Kehancuran hidupnya bermula ketika diperkosa majikannya. Saat itu dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. "Film ini diangkat dari sebuah kisah nyata. Korbannya sekarang ada di Makassar. Dia kini menderita HIV/AIDS. Film ini diawali dengan sebuah penelitian mendalam. Kami ingin mengatakan bahwa kehadiran PSK sebenarnya bukan atas kemauan mereka. Banyak faktor yang menjadi pemicunya," kata Syamsuddin yang didampingi asisten sutradara Ibrahim. Film yang digarap sekira enam bulan ini adalah bagian dari kampanye antikekerasan terhadap perempuan. Data LBH-P2i menunjukkan, sedikitnya 127 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke lembaga itu hingga pertengahan Desember 2007. Kasus yang tidak dilaporkan diperkirakan lebih besar lagi. Direktur LBH-P2i Yuliani Harys mengatakan, 127 kasus kekerasan tersebut meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran. "Kekerasan ini harus segera dihentikan. Kami berharap film ini bisa menggugah kesadaran kita, khususnya kaum lelaki," imbuh Elyas Joseph, ketua Yayasan LBH-P2i. Dari segi kualitas, film ini memang tidak bisa dibandingkan dengan karya sineas papan atas Indonesia. Peralatan yang digunakan sangat terbatas alias apa adanya. Penggunaan satu unit kamera saja, jelas tidak cukup sehingga film ini terkesan monoton. Pemutaran perdana juga mengecewakan akibat kendala teknis. Terlepas dari kekurangan itu, film ini patut diacungi jempol. Paling tidak, Lempa dan UKM Seni UMI telah berhasil memvisualisasikan sebuah kisah nyata yang diderita segelintir perempuan Indonesia. Lagu berjudul "Seroja di Persimpangan" yang menjadi soundtrack film ini juga patut diacungi jempol. Lagu ini khusus diciptakan untuk Film Seroja dengan nada lirih. Lirik lirih "Seroja di Persimpangan" juga seolah mengetuk nurani Pemprov Sulsel dan Pansus Ranperda Trafficking Perempuan dan Anak DPRD Sulsel. Sudah berbulan-bulan ranperda itu dibahas. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda bakal disahkan dan diberlakukan. Mestikah kita membiarkan lebih banyak lagi korban berjatuhan?(*) http://www.fajar.co.id

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Salam,-
Apa Kabar Kampus Hijau? semoga semangat perjuangan itu masih terus mengalir, dan seni adalah media yang paling efektif untuk mempertahankan semangat itu.

Regards,
Castro (dulu sering bareng kawan2 UMI!he..3x)

Anonim mengatakan...

Gimana carax kalau mw download film seroja ini jadi penasaran bgt pgen liat karya putra daerah ini...

Design by Dzelque Blogger Templates 2007-2008